Sabtu, 30 Agustus 2008

Hari Anak Nasional

KOMPAS
Hari Anak Nasional
Siapa yang Peduli kepada Mereka?
Amri (10) dalam pangkuan bapaknya, Aang (30), terkulai dengan kondisi yang memprihatinkan. Badan kurus kering, tak bisa berbicara, hanya rintihan dan air mata. Setiap hari, di kawasan Pasar Tanah Abang, orangtua Amri berharap ada orang yang mau membantu untuk memenuhi kebutuhan makan dan obat.
Rabu, 23 Juli 2008 | 06:35 WIB

Hiruk-pikuk suasana Pasar Tanah Abang dan deru kendaraan yang berlalu-lalang sepanjang Selasa (22/7) di kawasan itu seperti menenggelamkan penderitaan Amri (10). Duduk terkulai di pangkuan ayahnya, Aang (30), Amri tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, bahkan bersuara. Yang ada hanya rintihan dan air mata.

Selasa petang itu, belum sepotong makanan yang masuk ke mulutnya. Akan tetapi, air liurnya seakan berkata, ”Amri lapar, Pak....”

Masih adakah yang peduli dengan penderitaan Amri? Cermatilah, tubuhnya kurus kering. Sedikit bergetar, menahan rasa lapar. Tinggal ”sedikit daging” pembalut tulang belulang. Amri sampai tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya.

Karena itu, jangan tanya keinginan dan harapan Amri pada Hari Anak Nasional sekarang ini.

”Jangankan biaya untuk berobat, biaya untuk makan saja harus menunggu belas kasihan orang yang lewat di sini. Saya tak sampai hati melihat kondisi anak saya, tapi mau bagaimana lagi?” kata Aang, yang beristrikan Uun (20) dengan suara lirih. Matanya terlihat berkaca-kaca.

Barangkali, tidak hanya Amri yang kondisinya memprihatinkan. Ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu anak-anak lainnya di banyak daerah juga dalam kondisi lebih kurang sama.

Betapa banyak pembiaran yang dilakukan negara terhadap jutaan anak di negeri ini. Dari mulai pembiaran terhadap ratusan ribu anak jalanan yang terpanggang terik matahari di jalan-jalan raya hingga anak- anak yang terpaksa putus sekolah karena kesulitan ekonomi keluarganya. Belum lagi anak-anak yang kelaparan dan menderita busung lapar sehingga mengakibatkan hilangnya sebuah generasi unggul bangsa.

Kekerasan oleh negara

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan, pembiaran terhadap anak-anak telantar, anak putus sekolah, apalagi yang kelaparan tergolong pada kekerasan terhadap anak (child abuse) yang dilakukan oleh negara. Namun, ironisnya, negara tidak menyadarinya.

Begitu pun sekolah yang memberikan beban pekerjaan rumah terlalu berat atau stasiun televisi yang menayangkan adegan sadis tergolong tindak kekerasan. ”Namun, masyarakat kurang memahami. Dikiranya, kekerasan kepada anak hanya berupa siksaan fisik,” kata Seto Mulyadi.

Tindak kekerasan dan kejahatan kepada anak, kata Dewan Pakar Lembaga Cegah Kekerasan Indonesia Indra Sugiarno, saat ini sudah pada tingkat yang mencemaskan dan mengkhawatirkan. Bahkan, pada akhir triwulan pertama tahun 2007 muncul kasus dengan tingkat ekstremitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terakhir yang tercatat, Maret 2008 seorang ibu membunuh bayi dan anak balita dengan cara menceburkan mereka ke bak mandi.

”Modus baru yang harus diwaspadai adalah perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia menjadi korban perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya,” kata Indra.

Menurut dia, anak-anak yang mengalami kekerasan dan kejahatan sehingga menyebabkan gangguan fisik dan mental diprediksi mencapai 10-12 persen dari jumlah anak di Indonesia.

”Kecenderungannya meningkat setiap tahun,” kata Indra, yang juga Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Data kasus yang dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. ”Sekitar 45 persen dari jumlah kasus itu adalah anak korbannya,” kata Indra.

Di sisi lain, anak-anak juga menjadi korban kekerasan dari lingkungan masyarakat. Tayangan televisi yang didominasi berbagai berita maupun sinetron bernuansa kekerasan adalah rangkaian bentuk kekerasan yang amat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak pada masa mendatang.

Dari analisis tayangan anak yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), meliputi tayangan kartun, sinetron anak, film fiksi nonkartun, serta program pendidikan dan kuis, ternyata banyak pelanggaran dari aspek visual, narasi, dan aspek nilai pendidikan.

”Tayangan televisi kita memang belum berpihak kepada anak-anak dan tidak pernah mempertimbangkan dampak suatu acara terhadap perkembangan mental anak,” kata Koordinator Isi Siaran KPI Yazirwan Uyun.

Pada Hari Anak Nasional ini semoga semua pihak menyadari anak adalah aset bangsa yang sangat berharga dan harus dilindungi. Sudah saatnya semua pihak menghentikan kekerasan terhadap anak, mulai dari sekarang hingga selamanya.


Yurnaldi
Sumber : KOMPAS

Tidak ada komentar: