Sabtu, 30 Agustus 2008

Ikutan Fit and Proper Test di DPR RI

KOMISI VIII AKAN LAKUKAN FIT AND PROPER TEST CALON ANGGOTA KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI)
Tanggal: 27 Jun 2007
Sumber: Parlementaria

dpr.go.id - RR Komisi VIII,

Komisi VIII DPR akan lakukan Fit and Proper Test terhadap 18 nama calon anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Periode 2007-2010 untuk diseleksi lebih lanjut.

Hal itu diputuskan dalam rapat Komisi VIII DPR tanggal 26 Juni 2007 yang dipimpin Ketuanya, Hasrul Azwar, untuk menentukan diterima atau tidaknya 18 nama calon anggota KPAI tersebut.

Hasil rapat Komisi VIII DPR menerima 18 nama calon anggota KPAI dan seterusnya akan ditentukan jadwal fit and proper test terhadap Calon Anggota KPAI tersebut tanggal 11-13 Juli 2007.

Dilakukannya fit and proper test ini sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dan Keputusan Presiden RI Nomor 77 tahun 2003 tentang KPAI, serta memenuhi asas keterbukaan dan pertanggungjawaban publik.

Untuk itu, Komisi VIII meminta kepada masyarakat luas untuk memberikan saran serta masukan terhadap Calon-calon Anggota KPAI yang dimaksud.

Adapun nama-nama calon tersebut adalah sebagai berikut :

Drs. H. Hadi Supeno, M.Si (Pemerintah)

Dra. Sri Rahayu, S.H., M.Hum (Pemerintah)

Drs. H. Ibnu Anshori, S.H., M.A (Tokoh Agama)

Ir. Satriandayaningrum (Tokoh Agama)

Drs. Abdul Ghofur, M.A. (Tokoh Masyarakat)

Kusumo Priyono, ARS * (Tokoh Masyarakat)

Drs. Ferry Devi Johannes (Organisasi Sosial)

Dr. H. Nafrizal Sikumbang (Organisasi Sosial)

Hj. Enny Rosyidah Badawi, S.H.* (Organisasi Kemasyarakatan)

Dra. Hj. Margareth Gautama, M.sc (Organisasi Kemasyarakatan)

Dra. Sumarni Dawan Rahardjo, M.P.A. (Organisasi Profesi)

Dra. Susilahati, M.Si (Organisasi Profesi)

Dra. Magdalena Sitorus * (LSM)

Drg. Maryona Rahmat, M.P.H (LSM)

Masnah Sari, S.H (Dunia Usaha)

Dra. Santi Diansari, S.H (Dunia Usaha)

Dr. Indra Sugiarno, Sp.A (Kelompok Masyarakat Peduli Anak)

Dr. Zarfiel Tafal, M.P.H.* (Kelompok Masyarakat Peduli Anak)

Dari 18 calon tersebut, empat calon kini masih menjabat sebagai anggota KPAI yaitu Kusumo Priyono, Enny Rosyidah Badawi, Magdalena Sitorus, dan Zarfiel Tafal. Hasrul mengatakan, kepada masyarakat luas yang akan memberikan masukan secara tertulis mengenai Calon Anggota KPAI, hendaknya mencantumkan identitas jelas dan dapat disampaikan pada Sekretariat Komisi VIII DPR-RI, Gedung Nusantara II, Lantai 1, jalan Jend. Gatot Subroto, Jakarta – 10270, Telp. (021) 5715344/5715399, Fax. (021) 5715.512, email: komisi8_dprri@yahoo.co.id selambat-lambatnya hari Senin, tanggal 9 Juli 2007, pukul 16.00 WIB. (zf)

Wawancara dengan KOMPAS, Hari HAM Sedunia

Sumber KOMPAS
Kekerasan Pada Anak, Seram!
Senin, 14 April 2008 | 21:23 WIB

JAKARTA, SENIN - Tindak kekerasan dan kejahatan kepada anak sudah pada tingkat yang mencemaskan dan mengkhawatirkan. Bahkan, di akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu membunuh bayi dan balita dengan cara menceburkan mereka ke bak mandi. Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya.

Menurut laporan dalam suatu pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Dewan Pakar Lembaga Cegah Kekerasan Indonesia (LCKI) Indra Sugiarno mengatakan itu kepada Kompas, Senin (14/4) di Jakarta. " Rentannya perdagangan anak dan atau kekesaran dan kejahatan kepada anak, karena anak-anak dalam kondisi teramat sulit, akibat korban situasi keluarga, konflik, dan pengungsian dampak dari kasus bencana alam," ujarnya.

Ia menjelaskan, karena kekerasan dan kejahatan terhadap anak pelakunya orang terdekat, mungkin ibu-bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, atau tukang kebun dan atau tukang ojek pengantar ke sekolah, banyak kasusnya tidak terungkap dan tidak dilaporkan. Keluarga, diyakini merasa itu sebagai aib atau akan mempermalukan keluarga. Sehingga yang ada cuma angka prediksi, berapa kasus tiap tahunnya.

" Anak-anak yang mengalami kekerasan atau kejahatan (yang menyebabkan gangguan fisik dan atau mental) diprediksikan 10-12 persen per tahun dari jumlah anak dindonesia. Yang dimaksud dengan anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun, " jelas Indra Sugiarno, yang juga Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Data kasus yang dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Sebanyak 45 persen dari jumlah kasus itu, adalah anak korbannya. Menurut dia, seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi.

Kekerasan pada anak juga seringkali dihubungkan dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak, yaitu orangtua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang terakhir ini dikenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga.

Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin merasa sahlah untuk mendera anak. "Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarga," papar Indra.

Indra juga menjelaskan, tindak kekerasan dan kejahatan pada anak sering terjadi karena pelaku tidak mengetahui dan sadar bahwa tindakannya itu dapat diancam pidana penjara atau denda yang tidak sedikit. Dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jika pelakunya orangtuanya sendiri, hukuman akan ditambah sepertiganya.

Pasal 80 menyebutkan, ayat 1: setiap orang yang melakukan kekejaram, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000. Ayat 2, dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.

Ayat 3, dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000. Pidana dapat ditambah sepertiganya dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 1, 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya.


Yurnaldi

Talkshow, Memperingati Hari HAM Sedunia

KEKERASAN PADA ANAK (05 April 2008)
Talkshow D-Radio
Laporan: Riri Wijaya

[''Parenting'' Sabtu, 09.00-11.00 WIB]

Dr. Indra Sugiarno SPA menjadi tamu kita dalam siaran Parenting kali ini bersama Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI). Kekerasan pada anak menjadi topic utama dan dr. Indra sempat menyinggung aktifitas dari para Civitas Akademika FKUI yang dilakukan setiap hari Jumat siang dalam acara Happy Hours. Dan kebetulan acara yang berlangsung kemarin bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia.

Lebih jauh dr. Indra mengatakan, Perlakuan yg salah pada anak bisa dibagi menjadi beberapa jenis, dan terkait kekerasan biasanaya menyangkut 4 hal yaitu fisik, seksual emosi dan penelantaran anak.

Orang tua yang secara sengaja tidak memberi makan anaknya, tidak memberi sandang yang cukup, tidak membawa anak kedokter ketika yang bersangkutan sakit, termasuk juga dalam unsur kekerasan. Namun Saat orang tua tidak mengetahuinya, hal itu tidak termasuk kekerasan.

Lalu bagaimana mengukur tindakan berkategori kekerasan? Dr. Indra mengatakan, jika perilaku anak mengalami gangguan prilaku akibat tindakan tersebut. Verbal Abuse sebutannya.

Dalam parenting, ada hal yang perlu diperhatikan. Secara factual, perkembangan anak mulai usia 0-sekian tahun, akan sangat unik dan berbeda-beda tiap individunya dan sejauhmana kita dapat mengadptasi perkembangan anak.

Indonesia adalah Negara yang mendukung sepenuhnya ratifikasi Hak Anak termasuk mengimplementasikan dalam bentuk aturan perundang-undangan. Hampir 6 tahun ini kesepakatan itu kita sepakati.

Pada dasarnya ada 4 golongan hak anak yang harus dipenuhi, yaitu Hak sipil kewarganegaraan (akte Kelahiran), namun nyatanya masih banyak Pemda yang memungut retribusi. Yang kedua Hak Tumbuh Kembang Optimal dan Hidup termasuk didalamnya untuk mendapat pelayanan Kesehatan dan Pendidikan. Yang ketiga, Hak Untuk dilindungi dari Kekerasan, Chil Abuse, bebas HIV. Dan yang terakhir Hak Partisipasi seperti pemberian Imunisasi dengan memberi pengertian agar anak yg lebih besar mau berpartisipasi setelah diberi pengertian.

Menyangkut perdagangan anak yang masuk dalam perlindungan dari kekerasan, trafficking, dan sejenisnya. Serta terkuak oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) yang di ketuai Dai Bachtiar. Issue ini tengah diteliti kebenarannya untuk dicari juga solusi dan pencegahannya.

Lalu siapa yang harus memenuhi hak-hak anak sebetulnya? Dr. Indra menyatakan, kedua orangtuanyalah yang mempunyai kewajiban melindungi. Jika orang tuanya tidak mampu keluarganyalah yang menghandle.

Contoh kasus, bayi yang lahir dengan berat tubuh 1,3 kg dari anak tukang batu, dengan kondisi memprihatinkan,orangtuanya tidak mampu memberi fasilitas kesehatan dan ketika dibawa ke layanan kesehatan, ditolak oleh 6 RS. Akhirnya karena keluarga yang lainpun tidak mampu, giliran masyarakatnya berteriak. Dan dimuat di Media. Barulah masuk neonatal intenssif care dan banyak yang mengulurkan tangan.

Saat ini yang banyak di dengungkan hanyalah masalah kekerasan, padalah Yang dilaporkan hanya sebagian kecil saja, seperti gundukan gunung es. Dan hanya 10-12% anak mengalami kekerasan.

Tugas kita sekarang ini adalah, berupaya juga melindungi 88% anak lainnya yang belum terkena kekerasan, agar mereka bisa tumbuh kembang secara optimal.

Sebagai kesimpulan, dr. Indra mengatakan, kekerasan pada anak adalah penyakit dalam masyarakat disamping penyakit pisik seperti pilek, demam dan lainnya. Kita harus tahu hak-hak anak, seoptimal mungkin yang harus dipenuhi orang tua, keluarga, masyrakat dan pemerintah.

Edukasi kepada masyarakat untuk mencegah kekerasan, disemua tingkatan terkait hak-hak anak tadi. Jangan lupa juga masalah parenting atau pengasuhan. Kepada penggiat anak, harus lebih perhatikan upaya perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan.

Perlakuan Salah Pada Anak

KOMPAS, 15 Agustus 2007

Tanggal 23 Juli 2007 adalah Hari Anak Nasional. Namun, tragisnya, saat peringatan Hari Anak yang diperingati di Dunia Fantasi, Jakarta, rekan saya sedang mengotopsi dua kasus anak dibunuh. Anak berumur 2 tahun dengan kekerasan dalam rumah tangga dan umur 11 tahun dengan eks korban sodomi.

Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir.

Sampai-sampai ada seorang ibu dalam suratnya ke redaksi salah satu media cetak menuturkan, selaku seorang ibu, ia mengaku sangat sedih membaca berita penganiayaan seorang anak oleh ayahnya sampai meninggal. Ibu itu menyatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin orangtua bisa jadi sedemikian garangnya mendera anaknya.

Ada juga seorang ibu secara mendadak menghubungi saya lewat telepon di malam hari. Ia mengatakan dengan perasaan geram dan kekesalannya atas penayangan yang baru saja disaksikannya pada salah satu stasiun televisi yang menyajikan kasus perlakuan salah secara seksual pada seorang anak perempuan.

Media itu menyajikan proses kejadian kekerasan seksual tadi secara detail. Ia mengungkapkan, “Saya merasa jijik. Tayangan itu menampilkan korban, seorang anak perempuan sedang menjelaskan bagaimana si pelaku memperlakukan dirinya. Apa tidak ada sensor dari tim redaksinya untuk tayangan seperti itu? Sungguh tidak berperasaan.”

Dari tanggapan dua ibu tadi dapat diketahui bahwa pemberitaan media terkait dengan kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak sangat menarik perhatian masyarakat secara luas, dan respons masyarakat pun beragam tergantung dari kemasan beritanya.

Respons masyarakat bisa berempati terhadap berita yang disajikan karena dikemas dengan runut dan lugas, tetapi di pihak lain respons masyarakat bisa pula antipati karena berita dikemas terlampau vulgar. Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana seyogianya media menyajikan berita terkait dengan perlakuan salah terhadap anak.

Perlakuan salah

Penderaan anak atau penganiayaan anak atau kekerasan pada anak atau perlakuan salah terhadap anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse, yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung (guard) pada seorang anak (individu berusia kurang dari 18 tahun) secara fisik, seksual, dan emosi. Dari batasan di atas umumnya diakui bahwa pelakunya adalah orang dekat dengan si korban.

Angka kejadiannya secara pasti tidak diketahui, tetapi diperkirakan jumlah anak yang menjadi korban sekitar 12 persen dari seluruh populasi anak. Kasus yang muncul ke permukaan dan menjadi bahan berita di media massa hanya sebagian kecil saja dan merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Di Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan per tahun, 45 persen di antaranya kasus kekerasan pada anak (sebagian besar kasus kekerasan seksual).

Banyak teori berkaitan dengan kekerasan pada anak, di antaranya teori yang berkaitan dengan stres di dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orangtua, atau situasional. Stres berasal dari anak (child produced stress) misalnya anak dengan fisik, mental, atau perilaku beda; anak usia balita, serta anak dengan penyakit menahun. Stres berasal dari orang tua (parental produced stress) misalnya orangtua dengan gangguan jiwa, orang tua korban kekerasan pada masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, dan orangtua dengan disiplin tinggi.

Stres berasal dari situasi tertentu (situational produced stress) misalnya terkena PHK atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif bagi hukuman badan sebagai bagian dari pendidikan anak, maka para pelaku makin merasa sah dalam melakukan penderaan terhadap si anak.

Dengan sedikit saja faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti, dan ketidakpatuhan, terjadilah penganiayaan pada anak yang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya. Saat perlakuan pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahwa tindakannya akan diancam dengan pidana penjara dan denda yang tidak sedikit; bahkan jika pelaku orangtuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya (Pasal 80 Undang- Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan pada anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00. (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00. (3) Dalam hal anak yang dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00. (4) Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya).

Namun, ancaman denda dan hukuman ini belum banyak diketahui masyarakat karena upaya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak yang masih minimal. Kekerasan pada anak bisa terjadi di mana saja, bisa di dalam rumah, di luar rumah, di jalanan, dan di sekolah. Karena itu, diperlukan kebijakan perlindungan anak yang dapat memberikan rasa aman pada anak dari segala bentuk kekerasan yang berasal dari lingkungan.

Upaya perlindungan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kekerasan pada anak ini dapat dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat (public health), yaitu melalui usaha promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan bagi anak yang belum menjadi korban (non-victim) melalui kegiatan pendidikan masyarakat dengan tujuan utama menyadarkan masyarakat (public awarness) bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat yang akan menghambat tumbuh kembang anak yang optimal, oleh karenanya harus dihapuskan.

Sedangkan dua usaha terakhir ditujukan bagi anak yang telah menjadi korban (victim) dengan tujuan utama memberikan tata laksana korban secara menyeluruh (holistic) meliputi aspek media, psikologis, sosial, termasuk di dalamnya upaya reintegrasi korban ke dalam lingkungannya semula. Upaya perlindungan di atas dapat dilaksanakan oleh profesional di bidangnya masing-masing di satu pihak dan media di pihak lain.

Peran media

Tidak dapat dimungkiri sangat besar peran media dalam hal penyebarluasan terjadinya kasus perlakuan salah terhadap anak dan kasus kejahatan pada anak lainnya. Namun, kemasan pemberitaan media kadang masih lebih mencari sisi sensasi dan pada beberapa kasus kerap kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, baik anak sebagai korban atau pelaku.

Dengan kata lain, sampai sekarang peran media telah eksis untuk melaporkan berita tentang anak yang telah menjadi korban, sementara peran media yang ditujukan bagi anak yang belum menjadi korban melalui usaha yang promotif dan preventif belum terlihat jelas. Padahal, besarnya kelompok anak yang disebut terakhir ini meliputi hampir 90 persen dari seluruh populasi anak.

Peran media

Dengan demikian, media harus memainkan peran kunci dalam upaya pencegahan perlakuan salah terhadap anak. Sebagai kekuatan besar yang berkemampuan membentuk opini masyarakat, media seyogianya bisa membuat program dan pelaporan yang lebih bertanggung jawab dengan artian tidak menonjolkan sisi sensasionalnya, tetapi bersifat mendidik untuk upaya promotif dan preventif. Misalnya, mengajak masyarakat melakukan dekulturisasi budaya diterimanya kekerasan di masyarakat, sosialisasi ancaman pidana dan denda untuk menumbuhkan efek jera (deterrence) di masyarakat, menjelaskan cara-cara tanpa kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mendidik masyarakat mengenai besarnya dampak kekerasan pada anak bagi tumbuh kembang anak, menyuarakan upaya-upaya alternatif yang perlu diambil pemerintah dalam memerangi kekerasan pada anak. Langkah penting lainnya dari media adalah media harus dapat menggambarkan dan menjelaskan kepada publik bahwa pengasuhan dan perawatan anak yang baik merupakan pekerjaan yang sangat bernilai dan sangat penting di dalam masyarakat kita.

Tidak hanya sekadar kewajiban sehingga pada gilirannya orangtua akan makin percaya diri, dan percaya diri ini akan sangat membantu mencegah terjadinya kekerasan pada anak. Akhirnya, kita menyadari bahwa kekerasan pada anak sudah menjadi satu masalah atau satu morbiditas di masyarakat dan keberadaannya akan berdampak negatif bagi anak, keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Kita juga menyadari sangat besar peran media dalam upaya mengatasi masalah ini, terutama dalam menggalang opini publik, mengadvokasi kebijakan, dan menjadikannya sebagai agenda politik, serta memberikan pendidikan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya masalah kekerasan pada anak dan upaya-upaya pencegahannya.

Penulis:
Dr Indra Sugiarno SpA Ketua Satgas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI)

Sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/15/humaniora/3763357.htm

Talkshow Kekerasan Pada Anak , organized by CIMSA

Parents Guide, edisi Juli 2008

Jangan Biarkan Ia Menyentuhku...

Kekerasan pada anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang /individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.

Sudah sebulan belakangan ini Pingkan menjadi pendiam. Entah kenapa, anak perempuan yang duduk di bangku kelas satu sekolah dasar swasta bergengsi di bilangan Jakarta Selatan ini juga tampaknya menarik diri dari lingkungan. Ia lebih sering mengurung diri di kamar daripada meladeni ajakan bermain sepeda dari teman-teman satu "geng" di blok rumahnya. Nilai-nilainya pun menurun drastis. Kehangatan dan keceriaan yang menjadi ciri khas putri pasangan Nila dan Ken ini raib begitu saja. Ada apa gerangan?

“Saya sangat bingung melihat perubahan drastis dari Pingkan. Selain menjadi sangat pendiam, ia jadi tampak selalu murung. Bukan sekali dua kali saya mendapatinya sedang melamun dengan pandangan mata menerawang. Ia bukan lagi Pingkan yang saya kenal seperti biasanya,” tutur Nila. Semua tetap menjadi misteri karena setiap kali ditanya apa yang dirasakannya, Pingkan hanya menggelengkan kepalanya.

Sampai suatu hari Nila mendapati buah hatinya tampak sangat ketakutan ketika akan ditinggal berdua saja dengan Aldi, adik kandung dari Ken yang sejak sebulan lalu ikut tinggal di rumah mereka. Selidik punya selidik, setelah -dengan kesabaran ekstra- Nila mengorek apa yang dirasakan dan dialami Pingkan, terhenyaklah ia. “Ternyata sebulan terakhir ini, Pingkan seringkali mengalami pelecehan seksual oleh Aldi. Ia tidak berani bilang karena diancam. Ketika akhirnya Pingkan mau mengaku apa yang terjadi, saya bukan saja shock, tetapi juga sedih dan murka.”

KEKERASAN PADA ANAK
Kasus pelecehan seksual yang menimpa Pingkan, hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi. Diibaratkan sebagai gunung es, kasus kekerasan pada anak (child abuse) yang muncul ke permukaan masihlah sangat sedikit, karena banyak korban yang tidak berani mengungkapkan apa yang dialaminya.

Menurut dr. Indra Sugiarno, SpA, Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak PP IDAI, secara umum, kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Sedangkan yang dimaksud dengan anak, ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Oleh karena itu, kekerasan pada anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang /individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.

Apa yang dipaparkan oleh Indra pun didukung oleh dr. Lukas Mangindaan, SpKJ(K), Staf Pengajar Dept. Psikiatri FKUI / RSUPCM. “Segala macam perilaku terhadap anak/remaja baik berupa tindakan fisik, ucapan verbal atau perilaku non verbal (termasuk penelantaran/child neglect) terhadap anak/remaja yang menimbulkan dampak berupa cedera fisik, emosi, atau baik yang berjangka pendek atau berkepanjangan,” ujarnya.

”Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker). Bentuknya bisa berupa perlakukan kekerasan secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak,” sambung Indra lagi.

JENIS CHILD ABUSE

Bentuk dari kekerasan terhadap anak memang tidak terbatas hanya pada perlakuan fisik semata. Lukas memaparkan bahwa bentuk kekerasan tersebut dapat berupa:
  • Kekerasan fisik
  • Pelecehan atau kekerasan seksual
  • Pelecehan verbal berulang
  • Penelantaraan anak yang dilakukan secara sengaja sehingga menimbulkan cedera fisik, emosional atau kombinasi. Entah itu berjangka pendek ataupun berjangka panjang.
WASPADA BILA IA…

Seperti halnya Pingkan yang tiba-tiba tampak berubah sangat drastis, tetapi tidak mau langsung mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya karena takut, untuk mengetahui apakah seorang anak memang benar mengalami kekerasan dapat ditandai dengan beberapa hal di bawah.
  • Tanda-tanda fisik
  1. Tanda/bekas cedera fisik. Seperti memar-memar di tempat yang tidak biasa terjadi bila si anak terjatuh atau mengalami kecelakaan biasa
    .
  2. Patah tulang. Baik yang lama maupun yang baru.
  3. Pada penganiayaan seksual dapat ditemukan luka memar pada vagina atau anus, atau sperma bila belum lama terjadi.
  • Tanda-tanda emosional
  1. Anak berubah sifatnya menjadi pemalu, menarik diri dari pergaulan, merasa bersalah, terasing, tak berdaya, dan perasaan tidak adekuad (Bagley, 1992; Courtois & Watts, 1982; Herman & Hirschman, 1977; Swanson & Biaggio, 1985).
  2. Tidak mau/malu menceritakan kepada orang lain, bahkan merasa hal itu terjadi karena "ada sesuatu yang tidak benar" pada dirinya.
  3. Takut menceritakan kepada orang lain karena takut orang yang menganiaya akan mengetahuinya dan penganiayaan akan terulang kembali.
  4. Hasil riset mengungkapkan bahwa keengganan korban penganiayaan untuk melaporkan adalah karena persepsi dirinya bahwa merekalah yang bersalah, sehingga timbul rasa menyalahkan diri sendiri.
“Untuk mengetahui apakah ia mengalami kekerasan atau tidak, dapat dideteksi dari tanda-tanda secara fisik dan emosional tersebut. Kadang, seorang anak yang mengalami child abuse tidak tampak secara fisik, karena hanya terlihat dari sisi perubahan emosionalnya saja. Karena itulah orangtua juga harus jeli,” tambah Lukas lagi. Selain orangtua juga harus waspada akan lingkungan anak, tentunya jangan sampai kekerasan tersebut malahan datangnya dari sang orangtua sendiri. Rasa aman adalah hak asasi setiap orang, termasuk buah hati Anda. PG



TERANCAM HUKUMAN PIDANA

Sedikit bocoran dari dr. Indra Sugiarno, SpA, yang juga merupakan Staf Pengajar Departemen Forensik FKUI, pelaku kekerasan terhadap anak dapat dikenakan ancaman pidana penjara atau denda. Bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri, maka hukuman akan ditambah sepertiganya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:
  1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.
  2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.
  3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000. Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).

Ceramah Umum



Senin, 16 April 2007,

Ketua Presidium LCKI, Prof. DA'I BACHTIAR bersama DR. dr. H. Tb. RACHMAT SENTIKA, Sp.A, MARS dan dr. INDRA SUGIARNO, Sp.A dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia saat acara Ceramah Umum dengan tema Membangun Kualitas Hidup Manusia Indonesia Kunci Membuka Peluang Daya Saing Bangsa yang diselenggarakan di kantor LCKI, Jakarta.